Curhat Neta: URGENSI AQIDAH

Jumat, 11 Maret 2011

URGENSI AQIDAH


Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَـاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صٰلِحًا وَلاَيُشْرِكْ بِعِبَـادَتِ ربِّهِ أَحَدًا﴿۱۱۰﴾
“Dan barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan jangan ia mempersekutukan seorangpun dalam berbadah kepada Tuhannya.”[1]
          Mengacu kepada ayat diatas terdapatlah sebuah kesimpulan darinya yaitu bahwa aqidah merupakan pondasi agama Islam dan syarat sahnya amal ibadah setiap umatnya, maka tanpa aqidah seluruh amal ibadah mereka akan gugur dan sia-sia.
Oleh karenanya Islam bisa di-ibaratkan bagaikan sebuah bangunan, aqidah adalah pondasinya yang berdiri diatasnya seluruh amal ibadah umatnya.
Shalat di-ibaratkan tiangnya yang menyanggah dan menopang seluruh amal ibadah yang lain. Sehingga ketika seorang muslim kreteria shalatnya baik, maka seluruh amal ibadahnya yang lain akan menjadi baik kreterianya, demikian pula sebaliknya.
Sabda Nabi Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam :
الصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَـامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَـا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ
“Shalat adalah tiang agama; barang siapa yang mendirikannya, maka ia telah menegakkan agama; dan barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah menghancurkan agama.”
Sedangkan zakat di-ibaratkan ventilasi atau jendelanya yang merupakan sarana untuk membersihkan udara, maka zakat merupakan sarana untuk membesihkan harta kekayaan dari hak milik orang lain.
Puasa di-ibaratkan dinding atau atap yang dapat memberikan perlindungan dari berbagai mara-bahaya yang datang dari luar, maka puasa adalah merupakan benteng diri dari pengaruh hawa nafsu dan bisikan syetan.
Dan terakhir adalah ibadah haji, ia di-ibaratkan sebagai interior dan eksterior sebuah bangunan yang biasa dimiliki hanya oleh para pemilik bangunan yang mampu secara materil. Demikian pula ibadah haji, ia hanya diwajibkan atas mereka yang mampu secara materil (lahiriah) maupun secara moril (bathiniah). Sedangkan bagi mereka yang belum mampu secara moril maupun meteril untuk melaksanakan ibadah haji, maka cukup atasnya sebagai sorang muslim berpegang-teguh pada aqidah yang lurus, mendirikan shalat, membayar zakat, dan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.
          Namun, apalah artinya shalat, zakat, puasa, bahkan ibadah haji seorang muslim jika aqidahnya yang merupakan pondasi agama dan syarat sahnya amal ibadah itu rusak, maka akan rusak pulalah seluruh amal ibadahnya.
Firman Allah Ta'ala :
لَئِنْ أَشْـرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِـرِيْنَ .
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amal ibadahmu, dan tentulah kamu temasuk orang-orang yang merugi.”[3]   
          Bagi setiap individu muslim, kebutuhan terhadap aqidah jauh diatas kebutuhan terhadap yang lainnya. Seorang muslim butuh makanan dan minuman yang cukup, tetapi ketika ia tidak mendapatkan keduanya yaitu makanan dan minuman yang cukup, tidak berarti ia akan mengalami kesengsaraan hidup baik didunia apalagi diakhirat. Ia juga butuh sanjungan, pujian dan kehormatan yang layak, tetapi ketika ia tidak mendapatkan semuanya yaitu sanjungan, pujian, dan kehormatan yang layak, tidak berarti ia juga akan mengalami kesengsaraan hidup baik didunia apalagi diakhirat. Sebab, kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat tidak akan datang dari makanan dan minuman yang cukup, tidak pula datang dari sanjungan, pujian dan kehormatan yang layak, akan tetapi kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat datang dari hati yang selalu rindu dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
          Dan tidaklah mudah bagi seorang muslim untuk selalu rindu dan bergantung kepada Allah, jika aqidahnya masih terkontaminasi oleh kerinduan dan ketergantungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka akan ada beberapa kerugian bagi seorang muslim yang masih bergantung kepada selainNya, yaitu agamanya menjadi rusak, amal ibadahnya menjadi gugur dan jiwanya menjadi sasaran prasangka buruk dan keragu-raguan.
          Penulis sudah menjelaskan diatas bahwa kerusakan agama bisa disebabkan oleh aqidah yang tidak lurus, karena aqidah merupakan pondasi dimana suatu agama selalu berdiri diatasnya. Maka ketika aqidah seorang muslim tidak lurus, agamanya pun menjadi rusak dan konsekwensinya seluruh amal ibadahnya menjadi batal, gugur dan tidak sah.
Firman Allah Ta’ala :
فَاعْبُدِاللهَ مُخْلِصًالَهُ الدِّيْنَ ﴿۲ أَلاَ للهِ الدِّيْنُ الْخَـالِصُ .
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).”[4]        
          Oleh karenanya, Rasulullah Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam benar-benar telah menghabiskan siang dan malamnya, hari-harinya bahkan seluruh umurnya untuk berkonsentrasi dalam usaha meluruskan aqidah ummatnya yang dalam keadaan carut-carut dan sama sekali tidak menunjukkan aqidah seorang hamba yang layak apalagi benar kepada tuhannya pada saat itu.
Sekejam apapun bangsa yang pernah ada didunia ini, mereka tidak akan pernah sekejam bangsa Arab pada masa jahiliyah. Sebab mereka tidak hanya pernah makan saudaranya sendiri dan makan putri kandungnya sendiri, tetapi mereka juga pernah makan Tuhannya sendiri yang mereka buat dari adonan roti.
          Demikian juga dakwah para rasul Allah yang lainnya sejak zaman Nabi Nuh 'Alaihis-salam sampai zaman rasul-rasul sesudahnya. Dakwah mereka satu dan sama yaitu menyeru ummatnya pertama kali agar menyembah Allah dan meninggalkan segala apa yang dituhankannya selain Dia.
Firman Allah Ta’ala :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُـوْلاً أَنِ اعْبُدُوْا اللهَ وَاجْتَنِبُوْا الطَّـٰغُوْتَ .
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan) “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thogut itu.”[5].
Firman Allah Ta’ala :
 يٰقَوْمِ اعْبُـدُوْا اللهَ مَالَكُمْ مِنْ إِلَـٰهٍ غَيْرُهُ .
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.”[6]
          Ungkapan diatas pernah disampaikan oleh para rasul Allah kepada ummatnya dalam dakwa mereka, diantara para rasul Allah yang pernah menyampaikan ungkapan tersebut adalah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Syu’aib 'Alaihimus-salam dan lainnya.
Sedangkan Nabi Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam menyampaikan ungkapan tersebut kepada ummatnya dan menanamkannya ke dalam jiwa mereka, ternyata membutuhkan waktu selama tiga belas tahun pada priode Makkah, yang kemudian dilanjutkan pada priode Madinah sambil beliau mengajarkan ibadah jawarih (ibadah anggota tubuh) dan perkara-perkara yang sifatnya amaliyah (praktis), seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya.
          Secara matematis, seandainya perbandingan waktu dakwah Nabi Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam kepada umatnya dengan waktu dakwah kita berbanding :
5 : 1 x waktu priode Makkah =  5 : 1 x 13 tahun = 65 tahun, tetapi seandainya perbandingan waktu dakwah beliau dengan waktu dakwah kita berbanding :
10 : 1 x waktu priode Makkah = 10 : 1 x 13 tahun = 130 tahun.   
Hasil pengandaian perbandingan diatas memberikan indikasi (petunjuk) bahwa betapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengajarkan dan mananamkan aqidah yang benar dan lurus, bahkan seakan-akan selama hayat dikandung badan pun belum cukup untuk itu. Namun walaupun demikian, terkadang hasilnya belum juga optimal, apalagi jika system atau kurikulum pengajarannya tidak mengikuti apa yang pernah diajarkan oleh rasulullah dan para sahabatnya, yang kemudian dipakai oleh para ulama salaf dalam dakwahnya.
          Fakta realistis pun seringkali terjadi di masyarakat umum yang mengindikasikan kelemahan iman dan ketidak lurusan aqidah mereka, seperti :
Ketika seseorang menderita suatu penyakit yang tidak kunjung datang kesembuhannya, meskipun ia sudah berobat ke berbagai rumah sakit dan dokter spesialis, tapi hasilnya tetap nihil. Dalam keadaan seperti ini biasanya seseorang akan mengalami dilema dan fluktuasi keimanan. Diantara mereka ada yang tetap ber-positif thinking (berbaik sangka) kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya sampai datang kesembuhannya, atau bahkan sampai ajal menghampiri dan menjemput dirinya. Namun tidak sedikit diantara mereka yang bersikap sebaliknya, yaitu ber-negatif thinking (berburuk sangka) kepada Allah lalu bersandar dan meminta pertolongan kepada selain Dia, bahkan ada pula yang berburuk sangka kepada saudaranya sendiri dan memfitnahnya.
          Ia berperasangka buruk kepada Allah dengan tuduhan bahwa Dia tidak berlaku adil pada dirinya, padahal dirinya merasa orang yang selalu dekat dengan-Nya dan banyak melakukan ibadah kepada-Nya. Atau ia berperasangka buruk kepada saudara-saudaranya sendiri yang seharusnya ia pelihara hubungan baiknya dengan tuduhan bahwa merekalah yang mengguna-guna dirinya dan membuatnya sakit yang tidak pernah kunjung datang kesembuhannya. Sementara ia tidak menyadari bahwa perbuatannya tersebut merupakan bisikan syetan dan para sekutunya yang menginginkan dirinya agar menjauhi Allah dan bersandar serta meminta pertolongan kepada yang lain-Nya, dan syetan juga menginginkan dirinya agar memutuskan silaturrahim dengan saudara-saudaranya.
Syetan tidak menghendaki orang tersebut meninggal ditangannya, karena syetan tidak mempunyai kekuasaan untuk mematikan dan menghidupkan seseorang. Tapi dia menghendaki orang tersebut agar meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan yang lain-Nya, dan dalam keadaan fasik dengan melanggar larangan Allah untuk memutuskan tali silaturrahim dengan saudara-saudaranya sendiri sesama muslim.
Firman Allah Ta’ala :
مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَفِيْ أَنْفُسِكُمْ إِلاَّفِيْ كِتٰبٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللهِ يَسِـرٌ .
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”[7]
Firman Allah Ta’ala :
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْـتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَيَسْـتَقْدِمُوْنَ .
“Maka apabila telah tiba waktu (yang telah ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) medahulukannya.”[8]
          Lebih celaka lagi, seandainya si-sakit tersebut berhubungan dan meminta bantuan langsung kepada jin dan sekutunya (dukun), kemudian ia bertanya tentang penyakitnya dan orang yang membuat dirinya sakit.
Sebab kata Rasulullah SAW :
مَنْ أَتَىْ عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ َتُقْبَلْ لَهُ صَلاَتُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًـا (رواه مسـلم)
“Barang siapa yang mendatangi seorang dukun (tukang ramal) lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.”[9]
Sabdanya yang lain :
مَنْ أَتَىْ كَاهِنًـافَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَـرَبِمَاأُنْـزِلَ عَلَىْ مُحَمَّدٍ (مسلم وأبوداود)
“Barang siapa yang datang kepada seorang dukun kemudian ia percaya terhadap apa yang dukun katakan, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam.”[10]
          Dalam hadits-hadits tersebut diatas, Rasulullah telah memberikan peringatan keras terhadap umatnya agar tidak main-main dengan perdukunan dan bertanya-tanya melalui perdukunan tentang perkara-perkara yang ghaib, seperti barang yang hilang, nasib, jodoh, karier dan lain sebagainya; apalagi mempercayai semua atau sebagian yang ia katakan lalu mematuhi apa yang ia perintahkan.  
          Hal lain yang patut diwaspadai, yaitu bahwa dukun acapkali menyerupai seorang tabib (ahli pengobatan) yang mengaku-ngaku dapat mendeteksi penyakit yang sedang menimpa si-pasien, baik melalui bantuan jin cara mendeteksinya maupun benda-benda yang dianggap sakral seperti keris, batu jimat dan lain sebagainya; dan bukan melalui diagnosa ilmiah cara mendeteksinya seperti layaknya seorang dokter.
Dan cara dukun memikat hati si-pasien, biasanya ia mengaku sanggup mengeluarkan berbagai-macam binatang yang bersarang di tubuhnya, seperti kelabang, lintah, ular dan lain sebaginya. Si-pasien dibuatnya tidak sadar dan menyadari bahwa tubuhnya terdiri dari tulang, daging dan darah, bukan semak belukar tempat bersarangnya binatang melata.
Terkadang dukun juga mengaku sanggup mengeluarkan benda-benda tajam dari dalam tubuh si-pasien, seperti jarum, paku, pisau, kawat, pecahan beling dan lain sebagainya.
Kali ini pun si-pasien dibuatnya tidak sadar dan menyadari bahwa benda-benda yang keluar dari dalam tubuhnya hanyalah halusinasi belaka dari perbuatan sihir sang dukun melalui bantuan syetan.             
Sebagaimana pengakuan seorang paranormal terkenal dalam Dialog Interaktif dengan para pemirsa di sebuah stasiun TV Swasta pada bulan Sya’ban 1423 H. Dalam jawabannya ia mengatakan bahwa :
“Benda-benda tajam dan semacamnya yang dikeluarkan dari dalam tubuh si-pasien itu hanyalah halusinasi yang dibuat oleh si-dukun yang mengobatinya, dan biasanya benda-benda tersebut langsung dibakar oleh si-dukun dan tidak boleh dibawa pulang oleh keluarga si-pasien”.
Kemudian seorang pemirsa di rumah bertanya lagi kepada paranormal tersebut melalui telponya :
“Apakah bapak bisa memasukkan semacam pisau kedalam tubuh seseorang ?”.
Ia menjawab kembali : “Tidak, walaupun saya baca mantra yang panjangnya dari bumi sampai ke langit, saya tidak bisa memasukkan semacam pisau kedalam tubuhnya, kecuali saya bedah dahulu tubuh orang tersebut kemudian saya masukkan pisau kedalamnya”.
          Kalau seorang paranormal saja sudah memberikan penjelasan demikian, bahwa benda-benda yang dikeluarkan dari dalam tubuh si-sakit hanyalah halusinasi yang dibuat oleh si-dukun yang mengobatinya. Maka alasan apa lagi yang dapat membenarkan pengakuan si-dukun yang pendusta itu, apalagi jika mengingat sebuah hadits Rasulullah Sallallahu'alai wa Sallam yang berbunyi :
كَذَبَ الْمُنَجِّمُوْنَ وَلَوْ صَـدَقُوْا
“Telah berdusta paranormal itu walaupun mereka itu benar (hanyalah kebetulan).” 
Dan firman Allah Ta’ala :
وَلَـٰكِنَّ الشَّـيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْـرَ
“Hanya syetan-syetan itulah yang kafir (mengerjakan sihir),  mereka mengajarkan sihir kepada manusia.”[11]
          Sebenarnya tidak ada alasan lain bagi si-sakit untuk mendustai dirinya dan Tuhannya. Apakah ia mendustai dirinya dan tuhannya hanya karena ia melihat secara kasat mata bahwa para dukun itu ketika mengobati pasiennya selalu mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah (mulia) seperti kalimat : الله أكبر (Allahu Akbar), سبحان الله (Subhaanallah), لاحول ولاقوة إلابالله (La-haula wala quwwata illa billah) dan semacamnya. Bahkan terkadang mereka membacakan ayat-ayat Al-quran dengan keras, seolah-olah mereka mengobati pasiennya dengan ayat-ayat Al-quran, padahal dibalik itu semua ada mantra-mantra yang mereka baca dengan suara pelan dan tersembunyi sebelum atau sesudah ucapan kalimat-kalimat thoyyibah (mulia) tersebut.
           Ada kisah nyata yang ingin penulis sampaikan kepada para pembaca agar menjadi bahan kajian dan renungan, sehingga tidak terjebak lagi oleh hal-hal yang samar antara kebenaran dan kesesatan. Singkat ceritanya sebagai berikut :
Pada tahun 2000-an, ada seorang siswa Lembaga Pendidikan Kejuruan (LPK) Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Komputer di daerah Ciceri Serang Banten. Siswa tersebut ternyata pemeluk agama Kristen Katholik Ortodox yang ta’at beribadah, dan sekarang ia masih bekerja di sebuah Perusahaan Modal Asing (PMA) di kota Batam.
Pada suatu malam seusai belajar Bahasa Inggris ia bertanya kepada seorang instrukturnya (rekan penulis di lembaga tersebut), pertanyaannya tidak berkenaan dengan Bahasa Asing tersebut tapi justru berkenaan dengan hal-hal yang berbau mistik.
Singkat dialognya sebagai berikut :
Siswa     : Pak kenapa Agama Islam itu sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik ?
Instrkt.  : Terdiam, kemudian ia balik bertanya  :  Apakah dalam agama anda pun ada hal-
                hal yang berbau mistik?
Siswa    : Ya, bahkan saya punya dua jin yang dapat saya hadirkan dan saya suruh untuk
                 menyakiti siapa saja yang saya inginkan. 
Instrkt.  : Sekarang tolong hadirkan dan suruh mereka menyakiti diri saya.
                (ucapan tersebut berulang-ulang agar si-siswa mau melakukannya walaupun
                terhadap instrukturnya sendiri).
Siswa    : Membaca mantra dengan suara pelan dan menggerakkan tangan kanan dan kiri
                kesegala arah. Tapi ternyata dua jin-nya tidak mau dihadirkan, apalagi disuruh
                menyakiti instruktur tersebut, walaupun ia sudah mencobanya berulangkali.
Instrkt.   : Oke cukup,  kalau  memang tidak  bisa  dihadirkan. Tapi  bolehkah  saya tahu
                 mantra yang anda baca dengan pelan dan tersembunyi tahadi ?
Siswa    : Mantra yang selalu saya baca untuk menghadirkan dua jin tersebut adalah :
              بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِْيمِ
         Dari kisah nyata diatas ada pelajaran yang sangat berharga untuk menjadi bahan kajian dan renungan, yaitu bahwa Ilmu Sihir dan Perdukunan tidak mengenal siapa saja yang mau mempelajarinya dan mengajarkanya, muslimkah dia atau non-muslim.
Dan tidak mengenal bahasa apa saja yang dijadikan sebagai mantranya, apakah ia bahasa Indonesia, Arab, Sangsekerta dan lain sebagainya. Ilmu Sihir dan Perdukunan yang acapkali menjebak umat Islam adalah Ilmu Sihir dan Perdukunan yang mantranya dialih bahasakan ke dalam Bahasa Arab atau dinukil dari potongan ayat-ayat Al-Qur’an secara acak, sehingga mereka memandang bahwa hal itu disyari’atkan dalam agama Islam. Yang lebih celaka lagi, jika para praktisi ilmu sihir dan perdukunan itu mengaku sebagai orang shaleh (kiyai, ulama atau ustaz).
          Jika seorang pemeluk agama Katholik Ortodox saja mampu mendatangkan jin melalui bacaan “Bismillahirrahmanirrahim” yang ia jadikan mantra, apalagi seorang muslim yang lebih familiar terhadap kalimat-kalimat thoyyibah dan ayat-ayat Al-Qur’an tentunya lebih bisa lagi menjadikannya sebagai mantra. Dan bukankah para dukun yang berkebangsaan Arab itu mantra mereka berbahasa Arab? Lantas alasan apalagi bagi mereka untuk mendustai para pasien dan orang banyak, khususnya mereka yang beragama Islam.
Apakah mereka juga akan mengaku-ngaku bahwa ilmu yang mereka miliki adalah ilmu warisan Nabi Sulaiman 'Alaihis salam? Sehingga mereka dapat mengendalikan jin (khoddam dalam bahasa mereka) dan memburu hantu yang kemudian memasukkannya kedalam botol atau memindakannya ke tempat lain.
Oh tidak, sebab Allah telah menjelaskan kebiasaan pengakuan dusta para dukun (tukang sihir) dalam kitab-Nya :
وَاتَّبَعُوْا مَاتَتْلُوْا الشَّـيٰطِيْنُ عَلَىْ مُلْكِ سُليْمَانَ وَمَاكَفَرَسُلَيْمَانُ وَلَـٰكِنَّ الشَّيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّـحْرَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), dan Sulaiman tidaklah kafir, melainkan syetan-syetan itulah yang kafir (mengerjakan sihir) mereka mengajarkan sihir kepada manusia.”[12]
Firman Allah Ta’ala :
وَأَمَّاالَّذِيْنَ اسْتَنْكَفُوْا وَاسْتَكْبَرُوْا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًـاأَلِيْمًـاوَلاَيَجِدُوْنَ لَهُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَلِيّـًاوَلاَنَصِيْرًا
“Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”[13]
          Fakta realistis lain yang seringkali dijumpai di masyarakat umum adalah :
Ketika seseorang kehilangan harta miliknya atau ketika seseorang menderita kolap (kerugian) dalam usahanya. Dalam situasi seperti ini juga, seseorang akan mengalami kegoncangan dan kelabilan jiwa serta fluktuasi keimanan. Tanpa adanya balancing (keseimbangan) dari kekuatan iman dan kelurusan aqidah, kemungkinan ia akan menempuh jalan pintas baik melalui cara menggadaikan keimanannya dengan keduniaan, atau mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Dan yang paling menghawatirkan adalah jika ia terjerumus kedalam persekutuan dengan iblis yang selalu menjanjikan kebahagiaan dan kesenangan sesaat, namun berakibat celaka baik di dunia maupun di akhirat selama-lamanya.
          Harta yang hilang belum tentu membawa kesengsaraan hidup di dunia, boleh jadi sebaliknya Allah ingin menggantikannya dengan yang lebih baik. Tetapi jika keimanan atau keyakinannya yang hilang, bukan saja kesengsaraan di akhirat yang didapat tapi kesengsaraan di dunia pun akan dirasakan terlebih dahulu. Namun hal itu hampir tidak pernah disadari oleh kebanyakan orang kecuali mereka yang selalu bersabar dan bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam :    
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُصِبْهُ
“Barang siapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka ia akan diuji dengan suatu musibah.”
          Bagi seseorang yang kehilangan keimanan dan keyakinan, maka yang ada pada dirinya hanyalah perasangka buruk terhadap orang lain, bahkan terkadang terhadap teman dekat dan saudara-saudaranya sendiri. Seperti seseorang yang sedang mengalami kolap (bangkrut) dalam usahanya sementara keimanan dan keyakinannya sangat lemah sekali, maka ia acapkali berprasangka buruk terhadap rekan-rekan usahanya sendiri, bahkan mengkambing hitamkan mereka dan seterusnya. Dan ia nyaris tidak pernah menyadari bahwa hal itu merupakan bagian dari takdir (ketentuan) Allah yang permasalahannya harus dikembalikan kepada-Nya.
Firman Allah Ta’ala :
مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّبِإِذنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْـدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ﴿۱۱﴾
“Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya; Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”[14]
          Ada dua kerugian bagi seseorang yang acapkali melarikan dan menyandarkan permasalahannya kepada selain Allah, seperti kepada dukun atau paranormal dalam situasi yang bagaimanapun, yaitu :
Pertama : Ia akan menjadi musyrik (penyekutu sesuatu dengan Allah)
Kedua   : Ia akan menjadi penyebar fitnah dikalangan orang-orang yang beriman.
          Mengapa demikian? Karena ia meyakini ada seseorang atau makhluk lain yang dapat mengetahui perkara-perkara yang ghaib, seperti barang yang hilang, jodoh, karier dan lain sebagainya; padahal hanyalah Allah yang mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Meskipun ada diantara makhluk-Nya yang diberi kemampuan untuk mengetahui perkara-perkara yang ghaib, seperti para malaikat dan para anbia (nabi) atau para rasulNya. Namun kemampuan yang mereka miliki itu hanyalah sebatas mu’jizat untuk membantu mereka dalam dakwahnya, dan hal itu tidak bisa dipelajari apalagi diserah terimakan dari seseorang kepada yang lainnya.  
Firman Allah Ta’ala :
قُلْ لاَيَعْلَمُ مَنْ فِيْ السَّمٰوَاتِ والأَرْضِ الغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakan : “Tak seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.”[15]
Firman Allah Ta’ala :
عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِـرُعَلَىْ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿۲٦ إِلاَّ مَنِ ارْتَضَىْ مِنْ رَسُـوْلٍ
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib maka Dia tidak akan memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhoinya.”[16]
          Sebenarnya sudah cukup bagi Allah dan rasul-Nya mengajarkan manusia cara mencari solusi berbagai macam permasalahan hidup mereka, baik melalui ayat-ayat-Nya maupun sabda-sabda rasul-Nya. Maka jika masih ada seseorang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara-perkara yang ghaib dengan cara apapun, baik dengan cara membaca telapak tangan, cangkir bekas minum, atau melalui Ilmu Sihir (perdukunan) dan Ilmu Astrologi (perbintangan) padahal ia tidak termasuk orang-orang pilihan Allah seperti para nabi atau para rasul-Nya, maka ia adalah pendusta dan kafir.
          Kebiasaan lain si-dukun selain mengaku-ngaku mengetahui tempat-tempat barang yang hilang dan mengetahui sebab-sebab suatu penyakit, ia juga acapkali mengaku-ngaku mengetahui identitas atau ciri-ciri si-pencuri atau si-pembuat sakit seseorang.
Biasanya si-dukun berkata kepada pasiennya :
“Orang yang mencuri harta anda ciri-cirinya berbadan kurus, berkulit putih dan berambut panjang”, dan “Orang yang mengirimkan penyakit kepada anda ciri-cirinya berbadan gemuk, berkulit hitam dan berambut pendek”.
Sejak detik pertama pasien mendengar apa yang dikatakan si-dukun tersebut kepadanya, sejak itu pulalah api fitnah mulai berkobar dalam dirinya, dan suara-suara iblis maupun bisikan-bisikan syetan yang sifatnya menuduh juga mulai bergelora dalam jiwanya.
Akibatnya, berapa banyak orang-orang dengan kreteria atau ciri-ciri tersebut diatas menjadi terfitnah atau tertuduh, dan hal itulah yang di-inginkan syetan yaitu tersebarnya fitnah dan tuduhan diantara anak cucu Adam.
Walaupun sesekali apa yang dikatakan si-dukun itu benar kenyataannya, tapi ingat bahwa kenyataan itu hanyalah merupakan faktor kebetulan bukan karena mereka tahu perkara-perkara yang ghaib.
Sabda Rasulullah Sallallahu'alahi wa Sallam :
كَذَبَ الْمُنَجِّمُوْنَ وَلَوْ صَـدَقُوْا
“Telah berdusta paranormal itu walaupun mereka itu benar (faktor kebetulan).”  
Atau karena si-dukun menjadi sekutu dan pengabdi syetan, sehingga syetan mau memberikan pertolongan kepadanya dengan membisikan berita-berita ghaib dari langit yang disertai seribu kebohongan.
Tapi perlu di-ingat ! bahwa syetan adalah makhluk Allah yang jahat dan licik, mustahil ia akan membantu para sekutu atau para pengabdinya diantara manusia kecuali mereka telah diperintahkan untuk berbuat syirik terlebih dahulu. Seperti melakukan ritual-ritual tertentu dengan cara menyembelih binatang yang memiliki kreteria tertentu pula. Contohnya menyembelih kambing hitam atau ayam putih dan sejenisnya yang disembelih bukan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Atau melakukan ritual-ritual tertentu dengan cara menyajikan kembang tujuh rupa dan membakar dupa (kemenyan) serta membaca mantra-mantra yang ditiupkan ke perapian dupa tersebut. Setelah mereka melakukan ritual-ritual tersebut lalu syetan membantu mereka dengan cara membisikan berita-berita bohong kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya :
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىْ مَنْ تَنَزَّلُ الشَّـيٰطِيْنُ ﴿۲۲۱ تَنَزَّلُ عَلَىْ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيْمٍ ﴿۲۲۲ يُلْقُوْنَ السَّمْعَ وَأَكْـثَرُهُمْ كَـٰذِبُوْنَ﴿۲۲۳ 
“Apakah akan aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun ? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.”[17]


[1] Al-Kahfi 110
[3] Az-Zumar 65
[4] Az-Zumar 2-3
[5] An-Nahl 36
[6] Al-A’raf 59, 65, 73, 85
[7] Al-Hadid 22
[8] An-Nahl 61
[9] Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim
[10] Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Daud
[11] Al-Baqoroh 102
[12] Al-Baqoroh 102
[13] An-Nisa 173
[14] At-Taghobun 11
[15] An-Naml 65
[16] Al-Jin 26-27
[17] Asy-Syu’ara 221-223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar