Curhat Neta: ADAKAH HIBAH, WASHIAT DAN WARISAN BAGI ANAK ANGKAT ?

Jumat, 15 April 2011

ADAKAH HIBAH, WASHIAT DAN WARISAN BAGI ANAK ANGKAT ?

Asssalamu’alaikum Wr. Wb.

          Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi RasulNya, keluarga beliau serta sahabatnya, wa ba'du
       Sehubungan dengan pertanyaan bapak yang berkenaan dengan masalah di atas, saya hanya dapat membantu untuk memberikan jawaban yang sifatnya informatif, sebab keputusan terakhir berada pada diri bapak sendiri. Maka dalam hal ini saya tidak merinci jawabannya satu persatu sesuai dengan pertanyaan yang bapak sampaikan. Saya mohon maaf sebelumnya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 4-5]

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [Hadits Riwayat Abu Daud]
          Dengan keputusan Allah diatas yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung), maka Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam. Dan Dia telah membatalkan  pula tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan apapun sama sekali. Namun walaupun demikian, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mewajibkan keduanya baik bapak angkat maupun anak angkat untuk berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari'at Islam.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)”[Al-Ahzab : 6]  
          Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal yang berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan 'wahai anakku’ sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya.
Boleh juga seseorang memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, 'wahai ayahku’ sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu muslim menjadi kuat hingga satu sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.
          Adapun kesimpulannya dan sekaligus jawaban terhadap pertanyaan yang bapak sampaikan sebagai berikut :
  1. Kedua buah rumah, mobil baik yang sudah dibalik nama maupun belum, sementara ini sebaiknya bapak pelihara saja. Hal itu bapak lakukan agar tidak menyinggung perasaan keduanya, dan anggaplah pemeliharaan tersebut sebagai balas jasa atas kebaikan keduanya selama ini kepada bapak, serta menjadi pelipur lara bagi keduanya. Bukankah membahagiakan orang lain itu sebahagian dari iman ?
  2. Hak bapak yang tidak memiliki hubungan apa-apa kecuali hanya hubungan saudara seiman dan seagama dengan keduanya hanyalah berupa hibah yang diberikan pada saat ayah angkat masih hidup dan boleh dimanfaatkan pada saat itu juga; atau berupa washiat yang diberikan kepada bapak pada saat ayah angkat menjelang wafat (dalam keadaan sakit yang berakhir dengan kepulangannya ke pangkuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala), dan washiat itu boleh bapak ambil dan memanfaatkannya setelah ayah angkat meninggal dunia. Adapun jumlah maksimal yang boleh dijadikan hibah maupun washiat menurut kesepakatan ulama adalah 1/3 dari seluruh  harta yang ada, sedangkan sisanya bapak serahkan kepada yang berhak menerimanya (para ahli waris).
  3. Masalah surat wasiat tidak perlu bapak tanyakan/minta  langsung kepada keduanya pada saat ini, toh secara lisan maupun bukti-bukti yang lain bapak telah shah menjadi penerima hibah. Apalagi bapak telah yakin bahwa rumah yang di TDS harganya  senilai 1/3 dari harta kekayaan mereka. Maka rumah itulah yang merupakan hibah yang shah untuk bapak dengan alasan; pertama nilainya 1/3 hartanya dan diberikannya pada saat mereka masih hidup di dunia. Sedangkan mobil phanter hanyalah bapak yang lebih tahu. Maksudnya, apakah nilai harga mobil itu jika ditambah nilai harga rumah yang di TDS melebihi sepertiga dari hartanya. Jika tidak melebihi tentunya mobil itu juga termasuk hibah buat bapak, tapi jika melebihi berarti mobil itu milik para ahli waris.
Namun walaupun demikian, Jumhur Ulama membolehkan seseorang menghibahkan seluruh harta kekayannya kepada orang lain. Tetapi kemudian di tentang oleh para ulama Mazhab Hanafi, mereka melarangnya sekalipun untuk sebuah kebaikan. Hal itu berpedoman pada sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
“Sepertiga itu paling banyak, dan janganlah seseorang itu meninggalkan keluarganya dalam keadaan miskin, kemudian mereka meminta-minta kepada manusia”.
          Masalah harta tersebut sebenarnya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Tahu, sementara orang lain mengira harta tersebut sudah menjadi milik bapak sepenuhnya, apalagi hukum positif sudah siap berdiri di belakang bapak.
Maka hanyalah orang-orang yang amin (jujur) yang mampu melaksanakan amanat dan mengetahui hak orang lain serta memberikannya kepada yang berhak menerimanya.
Wallahu ‘alamu bish-shawab……!      


BAHAN RUJUKAN :
  1. Al-Qur’anul Karim.
  2. Fiqih Sunnah (Bahasa Arab), Sayyid Sabiq, Juz3.
  3. Bulugul Maram, Ibnu Hajar Al’Asqalani.
  4. Kumpulan Fatwa Ulama Saudi Arabia dan lain-lain.

1 komentar: