Curhat Neta: SUMBER AQIDAH YANG AKURAT

Jumat, 11 Maret 2011

SUMBER AQIDAH YANG AKURAT


           Perkara aqidah (keyakinan) adalah perkara yang tidak terdapat didalamnya ijtihad ‘aqli (usaha akal) baik melalui kaidah analogi (kias), kaidah kausalitas (sebab akibat), maupun kaidah-kaidah mantiq yang semacamnya.
Aqidah hanya bisa ditetapkan berdasarkan dalil syar’i  yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Sebab tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah dan segala yang wajib bagi-Nya melainkan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah dan segala yang wajib bagi-Nya sesudah Allah selain Rasulullah Sallallahu'alai wa Sallam.
Firman Allah Ta’ala :
وَمَايَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىْ ﴿۳ إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى ﴿٤ عَلَّمَهُ شَدِيْدُ الْقُوَى﴿٥
“Dan (Muhammad) tiadalah yang diucapkannya itu (Al-quran) menurut kemauan hawa nafsu-nya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat.”[1]
          Oleh karena itu para ulama salaf[2], yaitu ulama yang hidup di tiga priode (zaman) sesudah wafatnya Rasulullah Sallallahu'alai wa Sallam, mereka selalu mengambil sumber-sumber aqidah hanya dari Al-quran dan As-sunnah.
Maka segala apa yang dijelaskan dalam Al-quran dan As-sunnah, baik tentang zat Allah, segala apa yang wajib bagi-Nya, dan segala apa yang menjadi hak bagi-Nya, mereka mengimaninya sepenuh hati, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Demikian pula segala apa yang tidak dijelaskan dalam Al-quran dan As-sunnah, baik tentang zat Allah, segala apa yang wajib bagi-Nya, dan segala apa yang menjadi hak bagi-Nya, mereka menolak dan menafikannya. Sehingga tidak pernah terjadi diantara mereka pertentangan dan perselisihan paham dalam perkara aqidah (keyakinan). Bahkan ucapan mereka se-iya se-kata, aqidah mereka adalah aqidah yang lurus, dan jama’ah mereka adalah jama’ah yang satu yaitu Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Dan ada sebuah jaminan dari Allah SWT bagi mereka yang selalu berpegang-teguh pada Al-quran dan As-sunnah, yaitu mereka tidak akan tersesat dan celaka baik di dunia  di akhirat.
Firman Allah Ta’ala :
فَإِمَّـايَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّيْ هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْـقَى ﴿۱۲۳﴾
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”[3]
          Karena kesatuan kata mereka, kelurusan aqidah mereka dan ke-efektifan system pembelajaran dan pengajaran aqidah mereka, sehingga mereka dinamakan Firqoh Najiah (golongan yang selamat). Pernyataan keselamatan mereka dari kesesatan dan kecelakaan baik di dunia maupun di akhirat berdasarkan pada kesaksian Rasulullah ketika beliau mengabarkan kepada para sahabatnya bahwa umat ini (kaum muslimin) akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan celaka dan masuk neraka kecuali satu golonan yaitu golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Sabda Nabi Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam :
أَلاَ إِنَّ مَنْ كـَانَ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَىْ اثْنَتَيْنِ وَسَـبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَىْ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ , اثْنَتَـانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّـارِ وَوَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ  (رواه أحمد)
“Ingatlah bahwa orang-orang sebelum kalian dari para ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan terpecah menjadi 73 golongan, yang 72 golongan akan masuk neraka dan hanyalah satu yang akan masuk surga yaitu golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah”[4]
Sabda Rasulullah yang lain yang menjelaskan siapa mereka yang termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, kata beliau :
هُمْ مَنْ كـَانَ عَلَىْ مِثْلِ مَاأَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْـحَابِيْ  (رواه أحمد)
“Mereka adalah orang-orang yang berada diatas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan ajaran para sahabatku.”[5]
          Kebenaran sabda Rasulullah tersebut diatas telah terbukti. Yaitu ketika sebahagian umat manusia membangun aqidah (keyakinan) mereka diatas pondasi selain Al-quran dan As-sunnah, melainkan mereka membangunnya diatas pondasi Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat dan kaidah-kaidah Ilmu Mantiq yang acapkali diadopsi dari Filsafat Yunani dan Filsafat Orientalis Barat yang sesat lagi menyesatkan. Maka sejak saat itu terjadilah kesesatan dan penyimpangan dalam aqidah mereka, terpecahlah persatuan mereka dan retaklah kesatuan moslem socialities (masyarakat muslim) mereka.
          Namun sebaliknya, ketika sebahagian umat manusia membangun aqidahnya diatas pondasi Al-quran dan As-sunnah, maka tidak akan terjadi kesesatan dan penyimpangan dalam aqidah mereka, dan tidak pula akan terjadi perpecahan diantara mereka serta retaknya kesatuan masyarakat muslim mereka.  Sebab pondasi aqidah mereka adalah Al-quran dan As-sunnah yang datang dari sumber yang satu yaitu Allah dan rasul-Nya, lantas bagaimana akan terjadi perpecahan dan perselisihan paham diantara mereka selama sumber keyakinan mereka itu sama dan satu.
Dan akan lain halnya ketika mereka membangun aqidahnya diatas pondasi selain Al-quran dan As-sunnah, melainkan mereka membangunnya diatas pondasi Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, dan kaidah-kaidah mantiq. Dalam hal seperti itu niscaya akan mudah sekali terjadinya kesesatan dan penyimpangan dalam aqidah mereka, dan terjadinya perpecahan dan keretakan dalam masyarakat mereka. Sebab pondasi aqidah mereka adalah Ilmu Kalam dan Ilmu Filsafat yang bersumber dari para filosuf yang tidak sedikit jumlah mereka. Semakin banyak lahirnya para filosuf, maka akan semakin banyak pendapat yang bermunculan dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan kadang terjadi dua pendapat yang saling bertentangan dari seorang filosuf yang sama. Lantas bagaimana tidak akan terjadi perpecahan dan perselisihan paham diantara mereka selama sumber keyakinan mereka banyak dan berbeda.
          Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah dalam haditsnya diatas, bahwa para Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) akan terpecah menjadi 72 golongan, sedangkan Kaum Muslimin akan terpecah menjadi 73 golongan, yang 72 golongan akan masuk neraka dan hanyalah satu golongan yang akan masuk surga yaitu golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Maka perintah Allah kepada umatNya agar mereka selalu berpegang teguh pada tali agamaNya yang kuat dan masuk kedalam agama-Nya secara totalitas mesti teraplikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Firman Allah Ta’ala :
هَـاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أُدْخُلُوْا فِيْ السِّـلْمِ كَافَّةً وَلاَتَتَّبِعُوْاخُطُوٰتِ الشَّـيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَـدُوٌّيَآأَيُّ مُبِيْـنٌ ﴿۲۰٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman , masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langka-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”[6]
          Apalagi pada saat-saat sekarang ini, seakan-akan umat Islam Indonesia meghadapi sebuah senjata yang bermata dua. Artinya mereka tidak akan pernah berakhir menghadapi pengaruh yang menyesatkan yang datang dari dua arah secara bersamaan. Sehingga mereka berkesulitan untuk menentukan sikap dan mengambil langkah pasti dalam menghadapi keduanya yang sama kuat.  
          Disatu sisi, umat Islam Indonesia harus berhadapan dengan pengaruh keyakinan nenek moyang mereka yang sesat lagi menyesatkan. Sebab sebelum nenek moyang mereka memeluk agama Islam, mereka sudah memeluk agama Hindu dan Budha berabad-abad lamanya. Sehingga sedikit maupun banyak pengaruh keyakinan dua agama tersebut telah mewarnai dan melatar belakangi keyakinan mereka.
Pengaruh keyakinan dua agama itulah yang sampai sekarang masih tersisa dalam diri mereka, berakar dalam jiwa mereka dan berakumulasi dengan adat-istiadat serta budaya mereka. Sehingga sulit untuk dihilangkan dan dikikis habis sampai keakar-akarnya.
Dan akibat pengaruh kuat keyakinan dua agama diatas, sebahagian umat Islam Indonesia memiliki ragam interpretasi keimanan dan ragam kreteria keislamannya, seperti :
  1. Mereka mengaku sebagai orang-orang mu’min, namun sikap dan prilaku mereka dalam memelihara ucapannya sehari-hari dari mengutuk, memfitnah, menghujat orang lain belum mengindikasikan bahwa mereka adalah orang-orang mu’min. Orang-orang yang sikap dan prilakunya demikian dalam bahasa syar’i (agama) dinamakan orang-orang fasik.
  2. Mereka mengaku sebagai orang-orang mu’min, tetapi ketika mereka melakukan  ibadah amaliahnya sehari-hari seperti shalat, berdo’a dan lain sebagainya; mereka masih mengakumulasikan ibadahnya dengan ritual-ritual dan upacara-upacara peribadatan agama lain. Bahkan mereka mengenal upacara do’a bersama antar para pemeluk agama-agama yang ada di Indonesia dan melakukannya pada waktu dan tempat yang sama. Ingat bahwa orang-orang yang selalu mengakumulasikan ibadahnya dengan ritual-ritual dan upacara-upacara peribadatan agama lain dalam bahasa syar’i (agama) dinamakan orang-orang mubtadi’in (pelaku bid’ah atau pembuat syari’at baru).
  3. Mereka mengaku sebagai orang-orang mu’min, tetapi mereka masih meyakini hal-hal yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya, seperti meyakini kembalinya roh orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya. Keyakinan semacam itu acapkali diakibatkan oleh sikap berlebihan dalam menghormati dan memuliakan seseorang yang telah meninggal dunia yang diyakini sebagai wali Allah atau orang shaleh. Rasulullah memang pernah menganjurkan umatnya agar menghormati yang lebih tua dan mengasihani yang lebih muda, namun beliau sekali-kali tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengkutuskan (mensucikan) orang yang lebih tua sekalipun ia seorang yang shaleh. Dan orang-orang yang keyakinannya kepada Allah masih terkontaminasi oleh keyakinan kepada selain Dia dan keyakinan kepada sesuatu yang tidak disyari’atkanNya, mereka adalah orang-orang yang telah membuat sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sikap dan prilaku seperti diatas seringkali mereka sandarkan dan mereka kembalikan kepada adat-istiadat dan budaya nenek moyang yang ingin mereka lestarikan sebagai bentuk penghormatan dan keta’atan, padahal nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun tentang Islam.
Firman Allah Ta’ala :
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَاأَنْـزَلَ اللهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَاأَلْفَيْنَـاعَلَيْهِ ءَابَآءَنَـا أَوَلَوْاكَانَ ءَابَـآؤُهُمْ لاَيَعْقِلُوْنَ شَـيْئًاوَلاَيَهْتَـدُوْنَ .
“Dan jika dikatakan kepada mereka; ikutilah segala yang diturunkan oleh Allah. Mereka berkata akan tetapi kami akan mengikuti segala apa yang telah diperbuat oleh nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka sebenarnya tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak pernah mendapat petunjuk (dari Allah)”[7]  
           Dilain sisi, umat Islam Indonesia harus berhadapan dengan pengaruh propaganda busuk dari sekelompok umat Islam yang pola pikirnya kebarat-baratan dan sikapnya lebih menonjolkan anti Islam dari pada loyal terhadapnya. Seperti propaganda busuk Jama’ah Islam Liberal, Jama’ah Lia Aminuddin dan propaganda busuk kaum sekuler (kaum mu’tazilah) yang selalu mendahulukan pendapat akal dan hawa nafsu sendiri dari pada mendahulukan dalil-dalil Al-quran dan As-sunnah dalam berargument masalah agama.
Celakanya lagi, ternyata jumlah pengikut mereka semakin hari semakin bertambah dan bercokol di berbagai Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Dan konon mereka jugalah yang membidani lahirnya paham pluralisme, yaitu sebuah pemahaman yang diadopsi dari pemahaman lintas agama dan bertujuan agar pemahaman tersebut mendapatkan legitimasi dari para pemeluk agama lainnya.
          Cikal-bakal pemahaman sesat diatas sebenarnya sudah muncul sejak zaman para sahabat rasul; Abdullah bin Saba-lah biang keladinya, dia adalah seorang pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam, namun tujuannya ingin memadamkan syi’ar agama Allah, merancukan ajarannya dan melemahkan kekuatan umatnya dari dalam. Siasat busuknya patut diacungi jempol, tetapi syi’ar agama Islam sekali-kali tidak akan pernah padam dari muka bumi sampai datang ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Firman Allah Ta'ala :
يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوْا نُوْرَاللهِ بِأَفْوَاهِـهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِ وَلَوْكَـرِهَ الْكَافِرُوْنَ .
“Mereka ingin hendak mamadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.”[8]
Firman Allah Ta’ala :
إِنَّـانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَ وَإِنَّـالَهُ لَحٰفِظُوْنَ .
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[9]
          Dan pada masa kolonial Belanda di Indonesia lahir pula seorang manusia sejahat dan sekeji Abdullah bin Saba, dialah Snouck Hurgronje yang juga berpura-pura memeluk agama Islam, bahkan merubah namanya menjadi nama seorang muslim. Namun tujuannya sama dengan pendahulunya yaitu ingin memadamkan syi’ar agama Allah, merancukan ajarannya, dan melemahkan kekuatan umat Islam di bumi Aceh Darussalam.
          Kemudian pada tahun 80-an lahir pula sekelompok ummat Islam yang menamakan diri mereka kaum Cendikiawan Muslim, walaupun mereka sebenarnya lebih layak disebut kaum sekuler (mu’tazilah) yang selalu mendahulukan pendapat akal dan hawa nafsu dari pada dalil-dalil Al-quran dan As-sunnah dalam berargument dan menjastifikasi setiap permasalahan yang sifatnya syar’i. Atau mereka lebih layak lagi jika disebut kaum munafik, yaitu kaum yang selalu menampakkan keislaman pada dzahirnya dan menyembunyikan kekufuran dalam bathinnya. 
Kenifakan mereka tampak jelas sekali ketika mereka mengekspresikan sikap dan memberikan statemen yang kontroversial dengan ajaran Al-quran dan As-sunnah. Sikap dan statemen mereka juga acapkali berubah-ubah dari satu waktu ke waktu lain, bahkan dari satu tempat ke tempat lain. Di mesjid mereka mengatakan bahwa kitab Al-quran adalah kitab yang paling mulia, tetapi ketika di gereja mereka mengatakan bahwa kitab Injil-lah yang lebih mulia, demikian pula ketika di Vihara mereka juga memuji kitab Weda dan masih banyak lagi sikap mereka yang sama sekali tidak memberikan indikasi bahwa mereka adalah muslim.    
Kalaupun mereka terkadang harus mengungkapkan dalil-dalil dari Al-quran dan As-sunnah, motivasi ungkapan mereka tersebut sebenarnya hanyalah untuk memperolok-olok nash itu sendiri dan memperolok-olok lawan bicaranya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِذَا لَقُوْاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْاقَالُوْا ءَامَنَّاوَإِذَاخَلَوْا إِلَىْ  شَيٰطِيْنِهِمْ قَالُوْا إِنَّامَعَكُمْ إِنَّمَانَحْنُ مُسْـتَهْزِءُوْنَ.
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan : “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan : “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”[10]
Firman Allah Ta’ala :
وَلَئِنْ سَـأَلْتَهُمْ لَيَقـُوْلُنَّ إِنَّمَاكُنَّـانَخُوْضُ وَنَلْعَبُ قُـلْ أَبِاللهِ وَءَايٰتِهِ وَرَسُـوْلِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْـزِءُوْنَ .
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”[11].
          Bahkan terkadang mereka juga mengambil referensi ilmiahnya dari buku-buku berbahasa Arab hasil karya tulis para sarjana Timur-Tengah, walaupun sebenarnya buku referensi yang mereka pegang tersebut para penulisnya telah dijastifikasi oleh majlis ulama setempat sebagai orang-orang yang murtad. Mereka bukanlah ulama yang kreterianya disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
إِنَّمَـايَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَـاءُ .
“Sesungguhnya yang takut kepada Alla                      h diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”[12]
          Bagi seorang muslim yang sejati ketika ia harus bersentuhan dan berselisih paham dengan mereka, maka sikap yang terbaik baginya adalah kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-sunnah. Sebab selama ia berpegang teguh pada ajaran Al-quran dan As-sunnah, selama itu pula ia akan bersatu dan tidak akan berselisih paham antar sesamanya.
Sebab ajaran Al-quran hanyalah satu dan sama, ia datang dari sumber yang satu yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikian pula ajaran As-sunnah hanyalah satu dan sama, ia pun datang dari sumber yang satu yaitu Rasulullah Sallallahu'alai wa Sallam.
          Diantara rahasia kesuksesan para sahabat Rasulullah dan para ulama salaf dalam menyatukan umat dan merekatkan masyarakat muslim mereka adalah merujuk kepada ajaran Al-Qur’an dan As-sunnah Al-mutawaatirah.
Firman Allah Ta’ala :
وَاعْتَصِمُـوْابِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًاوَلاَتَفَـرَّقُوْا .
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”[13]                   


[1] An-Najm 3-5
[2] Yaitu ulama yang hidup pada zaman sahabat Rasulullah Sallallahu'alai wa Sallam, zaman tabi’in, dan ulama yang hidup pada zaman tabi’it-tabi’in (pengikut para pengikut sahabat Rasulullah).
[3] Thohaa 123
[4] Hadits Riwayat Imam Ahmad
[5] Hadits Riwayat Imam Ahmad
[6] Al-Baqoroh 208
[7] Al-Baqoroh 170
[8] Ash-Shaff  8
[9] Al-Hijr 9
[10] Al-Baqoroh 14
[11] At-Taubah 65
[12] Al-Fathir 28
[13] Ali-Imran 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar