Curhat Neta: Faktor Penyebab Penyimpangan Dalam Aqidah

Senin, 28 Maret 2011

Faktor Penyebab Penyimpangan Dalam Aqidah

           Berdasarkan fitrah yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada setiap anak manusia, maka tak seorang pun diantara mereka terlahir ke dunia ini yang menyimpang aqidahnya dan tersesat keyakinannya. Fitrahnya jiwa mereka dari kesesatan dan fitrahnya keyakinan mereka dari kesyirikan merupakan anugrah Allah bagi mereka semenjak kehidupannya dalam kandungan. Sebagaimana sabda rasulullah saw :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَىْ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوَيُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِّسَانِهِ _ رواه البخاري
“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah (dari kesyirikan), maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
           Ada beberapa faktor penyebab penyimpangan aqidah yang harus mendapatkan perhatian serius dan solusi penanggulangannya yang maksimal dari para ulama, da’i, dan para orang tua ketika mereka mengajarkan aqidah atau keyakinan kepada para santri, jama’ah dan putra-putri mereka. Sehingga mereka terhindar dan selamat dari kesesatan dan kesyirikan yang bukan atas dasar kehendak atau kesengajaan mereka sendiri, dan tidak saling melempar kesalahan antara satu terhadap yang lainnya.
Adapun faktor-faktor penyebab penyimpangan aqidah diantaranya :

1. Kebodohan dan ketidaktahuan dalam membedakan antara aqidah yang benar dan aqidah yang salah (keliru).
Selama ini mayoritas umat Islam Indonesia khususnya hanya mendapatkan pengajaran tentang aqidah yang benar; seperti pengajaran tentang rukun iman (pokok-pokok keimanan) yang enam yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kemudian, dan takdir (ketentuan) Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun mereka nyaris tidak pernah mendapatkan informasi tentang aqidah yang salah (keliru), padahal informasi tentang aqidah yang salah tidak kalah pentingnya dengan pengajaran aqidah yang benar. Akibatnya mereka mudah sekali terjerumus kedalam kesesatan dan kesyirikan oleh karena ketidak tahuan mereka dalam membedakan keduanya.
Sahabat Umar bin Khattab Radhiallahu'anhu pernah berkata :
إِنَّمَـا تُنْقَضُ عَرَى اْلإِسْـلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَانَشَـأَ فِيْ اْلإِسْـلاَمِ مَنْ لاَيَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّـةَ.
“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh berkembang tanpa mengenal kejahiliyahan.”

Ibarat seorang pendidik yang sedang mengajarkan sikap atau prilaku yang baik dan santun terhadap para anak didiknya, seharusnya iapun menginformasikan juga tentang sikap atau prilaku yang kurang santun, agar mereka tidak salah memilih ketika mereka harus berhadapan dengan dua sikap yang saling berlawanan. Sehingga mereka dapat menghindari dan mejauhkan diri dari sikap atau prilaku yang kurang santun tesebut.
Atau ibarat seorang ayah yang ingin mengenalkan sebuah cairan yang dinamakan syirup terhadap putra-putrinya, seharusnya ia pun mengenalkan cairan lain yang sama warna dan keharumannya tetapi jenisnya lain, seperti shampo atau sabun cair agar putra-putrinya dapat membedakan antara syirup dan shampo atau sabun cair. Sehingga mereka tidak akan keliru memilih dan meminum shampo yang diduga syirup karena kesamaan warna dan keharumannya. 

Demikian pula semestinya dalam mengajarkan atau memberikan materi aqidah. Yaitu adanya keseimbangan dan kesamaan antara porsi penyajian informasi tentang aqidah yang benar dengan porsi penyajian informasi tentang aqidah yang salah. Sehingga diharapkan umat Islam Indonesia khususnya dapat membedakan antara keimanan dengan kesyirikan, antara mu’jizat dan karomah dengan sihir, dan antara kiyai yang ulama dengan kiyai yang dukun.

2. Panatik terhadap tradisi dan adat-istiadat nenek moyang.
Tradisi atau adat-istiadat adalah perkataan dan perbuatan yang manusia selalu melakukannya pada tempat dan komunitas yang sama. Dikalangan para ulama Usul Fiqh tradisi disebut “Al-‘Urfu”. Kemudian mereka mengklasifikasi-kannya menjadi dua macam :
  • Pertama : Tradisi yang dibolehkan dalam Islam, yaitu :
Perkataan dan perbuatan yang manusia selalu melakukannya, dan tidak bertentangan dengan syari’at agama Islam, serta tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Tradisi seperti ini wajib bagi umat Islam untuk memeliharanya selama tidak bertentangan dengan ajaran Al-qur’an dan As-sunnah. Sebab terkadang ia menjadi kebutuhan bagi mereka sesuai dengan situasi dan kondisi serta kepentingannya.
  • Kedua : Tradisi yang dilarang (sesat) dalam Islam, yaitu :
Perkataan dan perbuatan yang manusia selalu melakukannya, dan ber-tentangan dengan syari’at agama Islam, serta menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal.
Tradisi seperti ini wajib bagi ummat Islam untuk meninggalkannya dan menghindarinya, apalagi jika ia bersentuhan langsung dengan perkara-perkara yang sifatnya i’tiqodi (keyakinan).
Sebahagian umat Islam masih sering keliru dalam menginterpretasikan arti pengabdian terhadap kedua orang tua. Sehingga mereka memberikan arti pengabdian terhadap keduanya sama dengan arti pengabdian kepada Allah secara totalitas. Padahal pengertiannya yang benar tidak demikian, akan tetapi bahwa pengabdian kepada kedua orang tua menempati posisi yang kedua setelah pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Firman Allah Ta’ala :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّتَعْبُـدُوْا إِلاَّإِيَّـاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَـانًا
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
Pada saat seorang anak manusia berhadapan dengan dua perintah atau dua larangan, yang pertama datang dari Tuhannya (Allah) dan yang kedua datang dari kedua orang tuanya dalam moment yang sama. Maka tindakan yang benar adalah dia harus melaksanakan perintah Allah terlebih dahulu kemudian melaksanakan perintah kedua orang tuanya, dan dia harus meninggalkan larangan Allah terlebih dahulu kemudian dia meninggalkan larangan kedua orang tuanya.
Suatu contoh :
Ketika seorang anak manusia mendapatkan perintah dari kedua orang tuanya untuk melakukan suatu perbuatan pada saat shalat wajib telah didirikan, maka ia harus mendirikan shalat wajib terlebih dahulu sebelum melaksanakan perintah kedua orang tuanya. Lain halnya, ketika ia mendapatkan perintah dari kedua orang tuanya untuk melakukan suatu perbuatan pada saat ia akan melaksanakan shalat sunnah, maka yang harus ia lakukan adalah melaksanakan perintah kedua orang tua sebelum melakukan shalat sunnah. Sebab menurut kaidah Ilmu Fiqh dan usulnya bahwa pelaksanaan perkara yang wajib harus didahulukan dari pelaksanaan perkara yang sunnah atau mandub.
Contoh yang lain :
Ketika seorang anak manusia mendapatkan perintah dari kedua orang tuanya untuk melakukan suatu perbuatan yang telah dilarang oleh Tuhannya (Allah), seperti perintahnya untuk bersandar kepada selain Dia, dan melakukan amalan-amalan yang tidak pernah diajarkan-Nya dan tidak pula diajarkan rasul-Nya; maka ia wajib meninggalkan perbuatan tersebut, sekalipun perbuatan yang diperintahkan kedua orang tuanya itu merupakan tradisi atau adat-istiadat nenek moyang mereka. Dan melakukan perintah kedua orang tua yang controversial dengan ajaran Allah dan Rasulnya bukanlah merupakan bentuk pengabdian dan keta’atan terhadap keduanya, melainkan bentuk kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seperti yang sering terjadi selama ini, yaitu :
• Nyekar (ziarah) kubur untuk memohon restu atau bantuan (sesambat) dari para ahlil kubur sebelum melaksanakan hajat.
• Mandi kembang 7 rupa sebelum melaksanakan pernikahan.
• Menggantungkan gunting atau pisau lipat pada baju wanita hamil.
• Memberi kalung benang hitam (suwuk) pada anak balita.
• Melekatkan wafak , rajah , atau jimat di pintu rumah.
• Menyajikan bahan makanan diatas rumah yang sedang dibangun, seperti beras atau padi, kelapa, tebu dan lain sebagainya.
• Melarang kaum wanita untuk memakan brutu (ekor) ayam atau itik.
• Melarang kaum wanita yang menjahit pada malam hari.
• Memberikan sesajen kepada Dewi Sri (dewi padi) selepas panen.
• Memberikan sesajen kepada Nyi Roro Kidul setahun sekali dalam upacara pesta pantai untuk mendapatkan keselamatan dari murkanya.
• Mengosongkan kamar 13 disetiap hotel atau motel di tepian pantai selatan untuk penginapan ratu laut selatan.
Sabda Nabi Muhammad Sallallahu'alai wa Sallam :
لاَطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ. _ رواه البخاري
“Tidak ada keta’atan kepada siapapun untuk berbuat durhaka terhadap pencipta”
Sabdanya yang lain :
فَـإِنَّكَ لَوْمُتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَاأَفْلَحْتَ أَبَـدًا. _ رواه أحمد
“Maka seandainya kamu mati, sedangkan ia (jimat itu) masih melekat pada tubuhmu selamanya kamu tidak akan beruntung.”
Firman Allah Ta’ala :
وَإِذَا قِيْلَ لـَهُمُ اتَّبِعُوْا مَاأَنْزَلَ اللهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَاأَلْفَيْنَـاعَلَيْهِ ءَابَآءَنَـا أَوَلَوْاكَانَ ءَابَـآؤُهُمْ لاَيَعْقِلُوْنَ شَـيْئًا وَلاَيَهْتَـدُوْنَ
“Dan jika dikatakan kepada mereka; ikutilah segala yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka berkata akan tetapi kami akan mengikuti segala apa yang telah diperbuat oleh nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka sebenarnya tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak pernah mendapat petunjuk (dari Allah).”

3. Berlebihan dalam menghormati para wali Allah dan orang shaleh.
Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda adalah anjuran Rasulullah Sallallahu'alai wa Sallam. Demikian pula menghormati para wali Allah, ulama dan orang shaleh adalah wajib bagi umat Islam. Mereka adalah pewaris para nabi dan para rasul, mereka pula-lah yang meneruskan dakwah dan perjuangannya, maka penghormatan terhadap mereka dapat dikatagorikan sebagai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Namun ada satu hal yang patut mendapatkan kehati-hatian umat Islam, yaitu sikap berlebihan dalam menghormati dan memuliakan para wali Allah, ulama dan orang shaleh. Sikap tersebut acapkali menjerumuskan sebahagian umat Islam kedalam kesesatan, bahkan menjerumuskan mereka kedalam kesyirikan yang tidak terampuni dosanya.
Sebab sebahagian umat Islam dengan mereka bersikap seperti itu, terkadang mereka sampai memposisikan kedudukan (derajat) para wali Allah, ulama dan orang shaleh diatas kedudukan Allah, para nabi dan rasul-Nya.
Bahkan Rasulullah tidak menyukai sikap umatnya yang demikian, sekalipun sikap tersebut (memuji secara berlebihan) ditujukan kepada beliau sendiri, sebagaimana sabdanya :
لاَتَطْرُوْنِيْ كَمَاأَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ , إِنَّمَاأَنَاعَبْدٌ , فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَرَسُـوْلُهُ._ رواه البخاري ومسـلم
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putra Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : “Abdullah wa Rasuluhu” (Hamba Allah dan Rasul-Nya).”
Sabdanya yang lain dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma :
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ , فَإِنَّمَـاأَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ. _ رواه أحمد وترمذي وابن ماجه
“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya itulah yang telah menghancurkan ummat-ummat sebelum kalian.”
Kesesatan sebahagian umat Islam yang berkaitan dengan sikap berlebihan mereka tidak secara totalitas diakibatkan oleh ketidak tahuan (kebodohan) mereka. Tetapi kemungkinan juga kesesatan mereka diakibatkan oleh kelengahan sebahagian ulama dan orang-orang shaleh itu sendiri.
Ketika mulai munculnya gejala kesesatan dikalangan sebahagian umat Islam, seperti berlebihan dalam menghormati dan memuliakan para wali Allah, ulama dan orang shaleh, bahkan sampai mengkultuskan (mensucikan) mereka; maka seharusnya para ulama dan orang shaleh itu sendiri yang bereaksi cepat untuk mengantisipasi dan meredamnya sebelum meluas penyebarannya.
Seperti yang pernah dicontohkan sahabat Ali bin Abu Thalib pada saat menghadapi kaum Syi’ah yang berlebihan dalam menghormati beliau dan mengkultuskannya, bahkan menganggapnya sebagai Tuhan. Ketika mereka tiba-tiba bersujud dihadapan beliau sambail berkata : “Engkau-lah Tuhan kami”, beliau menyuruh para sahabatnya untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian membakar kaum Syi’ah yang berlebihan tersebut.
Sahabat Ali bin Abu Thalib juga pernah mencambuk kaum Syi’ah lainnya yang berlebihan dalam menghormati dan memuliakan beliau lebih dari pada menghormati dan memuliakan sahabat Abu Bakar As-Siddiq dan sahabat Umar bin Khattab.
Seandainya para wali Allah, ulama dan orang shaleh bersikap seperti yang pernah dicontohkan sahabat Ali bin Abu Thalib, kemungkinan kesesatan dan pengkultusan terhadap diri mereka dapat diminimalisir. Sehingga cerita-cerita mereka yang tidak rasional dan belum tentu faktual tidak banyak terjadi dan terdengar dikalangan masyarakat awam.
Misalnya cerita tentang seorang tokoh tasauf dari negeri Bagdad yaitu Syekh Abdul Qodir Jaelani yang selama ini telah merasuki jiwa masyarakat awam. Konon beliau sanggup mengambil roh hamba Allah yang telah direnggut Malaikat Ijrail, dan memasukkannya kembali kedalam tubuh hamba Allah yang telah meninggal dunia tersebut.
Cerita diatas bukan saja tidak rasional dan tidak faktual, tapi cerita diatas juga sangat kontroversial dengan ajaran Al-quran dan As-sunnah. Sebab ketentuan hidup dan matinya setiap hamba Allah merupakan hak mutlak-Nya yang tak seorang pun dapat meng-intervensinya dengan alasan apapun.
Firman Allah Ta’ala :
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْـتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَيَسْـتَقْدِمُوْنَ
“Maka apabila telah tiba waktu (yang telah ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) medahulukannya.”
Masih banyak lagi cerita-cerita serupa yang penyebarannya sangat riskan sekali dalam usaha pemurnian aqidah. Sebab cerita-cerita yang demikian itu bisa mengakibatkan sebahagian umat Islam bersikap berlebihan dalam menghormati dan memuliakan para ulama dan orang shaleh, bahkan mereka mengkultuskanya serta menganggapnya berbarokah dan berkaromah. Padahal barokah dan karomah hanyalah milik Allah, dan Dia-lah yang berhak memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki karena keta’atan dan bertaqwaan mereka kepada-Nya.
Maka alangkah tersesatnya sebahagian umat Islam yang berbondong-bondong mendatangi kuburan para ulama dan orang shaleh hanya ingin mendapatkan barokah dan karomah dari para ahlinya. Dan perbuatan tersebut dikatagorikan oleh para ulama sebagai Ibadah Kubur (penyembahan terhadap kuburan).
Sabda Nabi Muhammad SAW :
لَعْنَةُاللهِ عَلَىْ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَـرَى إِتَّخَذُوْا قُبُوْرَأَنْبِيَـاءِهِمْ مَسَـاجِدَ
“Allah mengutuk atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai mesjid (tempat beribadah).” 

4. Kesesatan Kedua Orang Tua.
Kata orang bijak : “Al-waladu Sirru Abiihi”, artinya anak itu bayangan bapaknya. Seperti apa kualitas diri seorang bapak akan seperti itulah kualitas diri putra-putrinya, sebab buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.
Demikian pula keyakinan seorang anak tidak akan jauh berbeda dengan keyakinan kedua orang tuanya, sebab keduanyalah yang menghitam putihkan aqidah atau keyakinan mereka.
Walaupun disana ada pihak ketiga yang ikut serta dalam menghitam putihkan aqidah atau keyakinan setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini, tapi pengaruh keyakinan kedua orang tua jauh lebih besar memberikan konstribusi terhadap keyakinan putra-putrinya. Sebab mereka lebih banyak hidup berdampingan dengan kedua orang tuanya daripada mereka hidup berdampingan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sebagai orang tua tidak patut melemparkan batu kemudian menyembunyikan tangan. Artinya mereka tidak patut mencari kambing hitam ketika mendapatkan penyelewangan pada aqidah atau keyakinan putra-putrinya, sebab mereka sepenuhnya berada dibawah tanggung jawabnya sampai mereka akil balig (dewasa).
Firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَـاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْاأَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَاالنَّـاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Sabda rasulullah saw :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَىْ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوَيُنَصِّـرَانِهِ أَوْيُمَجِّسَـانِهِ _ رواه البخاري
“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah (dari kesyirikan), maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” 
Ketika seorang anak manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kemudian setelah sekian lama ia menjalani kehidupan di dunia ternyata jiwa dan keyakinannya mengalami perubahan akibat terkontaminasi oleh sesuatu yang menyesatkan; maka kesesatan mereka tidak semata menjadi tanggung jawabnya, tetapi kedua orang tuanyalah yang pertama kali mesti bertanggung jawab atas kesesatan jiwa dan keyakinannya. Sebab ketika seorang anak melakukan suatu kesesatan atau kesyirikan, sangat mungkin sekali contoh perbuatan tersebut ia dapatkan dari apa yang pernah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Demikian juga ketika seorang anak menjadi sekutu iblis atau menjadi pengikut aliran sesat, tidak menutup kemungkinan bahwa perbuatan tersebut juga merupakan bias dari ketergantungan kedua orang tuanya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.

5. Keengganan Media Pendidikan dan Media Informasi Menjalankan Fungsinya.
Selama ini, Media Pendidikan di Indonsia khususnya kurang dapat melaksanakan fungsinya secara optimal, terutama melaksanakan fungsinya sebagai sarana pembelajaran dan penanaman aqidah yang benar.
Padahal Media Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dan penunjang dalam mensukseskan pembelajaran dan penanaman aqidah atau keyakinan kepada para generasi bangsa ini yang akan datang.
Bukti konkrit kurang optimalnya fungsi Media Pendidikan di Indonesia sebagai sarana pembelajaran dan penanaman aqidah yang benar, adalah mayoritas kurikulum sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang ada di negeri ini tidak memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan agama Islam, terutama pendidikan aqidah atau keyakinan yang benar bagi para anak didiknya yang beragama Islam khususnya dan para anak didiknya yang dari kalangan penganut agama apa pun yang ada di negeri ini, karena ajaran agama Islam termasuk pendidikan didalamnya ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Kalaupun ada bidang studi pendidikan agama Islam dalam kurikulum sekolah-sekolah yang ada di Inonesia, materi yang tersaji dalam bidang studi tersebut masih sagat minim sekali dan disusun oleh orang-orang yang kurang berkompeten di bidangnya. Sehingga walaupun bangsa Indonesia telah merdeka enam puluh satu tahun yang lalu, namun akhlak mereka masih jauh dari apa yang mereka harapkan sendiri. Maka bukanlah pemandangan yang baru, jika di berbagai kota dan daerah negeri ini masih terjadi tawuran antar pelajar, kerusuhan antar mahasiswa dan baku hantam antar anggota parlemen.
Demikian pula Media Informasi yang ada di Indonesia selama ini masih kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Dari sisi piranti atau hardware media informasi, sebenarnya bangsa Indonesia telah memiliki dan menguasai semuanya. Namun dari sisi software atau program, sementara ini bangsa Indonesia masih sering memplagiasi program bangsa lain yang belum tentu sesuai dengan budaya, apalagi sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas warganya, yaitu agama Islam yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai rahmat (kasih sayang) bagi semesta alam.
Firman Allah Ta’ala :
وَمَـاأَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِلْعَـالَمِيْنَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Jika kemudian terjadi reaksi kecil dari para penganut agama lain yang ada di Indonesia, karena ketidak puasan mereka terhadap program Media Informasi yang harus berbasiskan ajaran agama Islam; umat Islam Indonesia tidak boleh putus asa untuk melaksanakan programnya, sehingga para pemeluk agama lain mau mengenal dan memahami ajaran agama Islam dengan benar, bahwa agama Islam diturunkan ke dunia ini benar-benar sebagai rahmat (kasih sayang) bagi para penghuninya. Dengan kata lain, bahwa agama Islam diturunkan ke dunia ini sebagai missi perdamaian dunia dan seisinya.
Diantara fakta kebenaran missinya adalah banyak para pemeluk agama lain yang keluar dari agamanya, kemudian mereka memeluk agama Islam atas dasar kesadarannya sendiri setelah mereka mau mengenal dan memahami ajaran agama Islam yang sebenarnya tanpa adanya usaha apapun terhadap mereka yang sifatnya intimidatif maupun persuasif.
Firman Allah Ta’ala :
إِنَّكَ لاَتَهْـدِيْ مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللهَ يَهْـدِيْ مَنْ يَشَـآءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

1 komentar: